Ditulis oleh: Sirajudin Hasbi
Dengan dalih “tidak mampu memimpin pertandingan dengan baik”, wasit
sepak bola di Indonesia kerap berubah fungsi menjadi sasaran kemarahan
massa. Di Sleman awal Juli 2013 ini, wasit Hidayat dikejar-kejar oleh
pemain, ofisial, dan suporter Perseman Manokwari gara-gara mendiamkan
handball pemain Persiba Bantul di kotak penalti.
Sebelum itu,
pada akhir April di Bandung, wasit Muhaimin dipukul pemain Persiwa
Wamena Pieter Rumaropen yang tidak menerima keputusan Muhaimin memberi
hadiah penalti kepada tuan rumah Pelita Bandung Raya. Kasusnya berbuntut
panjang. Pieter sempat dilarang tampil seumur hidup di Liga
Indonesia. Hukuman itu kemudian dikurangi menjadi larangan bermain
setahun dan denda Rp100 juta. Sedangkan Muhaimin tidak boleh lagi
memimpin laga di LSI dan hanya bertugas di Divisi Utama.
Rendahnya Kualitas
Rendahnya
kualitas wasit di Indonesia jelas menjadi sumber utama dalam berbagai
keputusan kontroversial yang berujung pada kericuhan. Sedikit wasit kita
yang memiliki lisensi internasional FIFA dan AFC. Jarang sekali ada
pelatihan bagi wasit (baru dan lama) untuk meningkatkan dan menjaga
konsistensi kualitas mereka.
Indonesia hanya punya empat wasit dan enam asisten wasit yang berlisensi FIFA.
Keempat wasit itu adalah Faulur Rosy, Agus Fauzan Arifin, Heru Santoso,
dan Retu Slamet Wijaya. Faulur Rosy dan Retu Slamet Wijaya memiliki
lisensi sejak tahun 2011 sementara Heru Santoso dan Agus Fauzan Arifin
baru di awal 2013.
Sementara enam asisten wasit berlisensi FIFA
adalah Khalid Al Makmun, Bangbang Syamsudar, Muhammad Irham, Ngadiman
Riswanda, Ahmad Rizal Mufti Ahmad, dan Edo Wiradana. Ngadiman Riswanda
memperoleh lisensi pada tahun 2006 dan Edo Wiradana pada 2011. Sementara
sisanya baru di awal tahun 2013.
Sebagai perbandingan, Malaysia
punya enam wasit dan delapan asisten wasit berlisensi FIFA. Singapura
punya enam wasit dan tujuh asisten wasit berlisensi FIFA. Padahal dua
negara ini tidak memiliki liga sepadat Indonesia.
Benar, lisensi
FIFA memang bukan standar mutlak — toh banyak pula wasit di liga Eropa
yang tak punya lisensi FIFA. Tetapi bedanya, di sana ada pelatihan wasit
yang konsisten diselenggarakan, baik bagi wasit lama maupun wasit baru.
Dengan begini, kinerja wasit dapat dievaluasi, perkembangan terbaru
peraturan sepak bola dapat disebarluaskan, dan motivasi menjaga kualitas
bisa terjaga.
Tanpa pelatihan reguler dan regenerasi, jelas
wasit kita akan selalu jadi kambing hitam setiap kali ada keributan di
lapangan hijau. Bayangkan saja, hanya ada 17 wasit dengan kualitas baik
untuk memimpin laga sekelas LSI yang diikuti oleh 18 klub.
Dugaan Suap Memperburuk Kepercayaan
Selain
kualitas rendah, wasit juga kerap dituduh menerima suap. Dulu ketika
wasit masih dibayar oleh tuan rumah, lumrah dijumpai wasit yang lebih
memihak tuan rumah. PSSI era Nurdin Halid kemudian membuat peraturan,
wasit dan perangkat pertandingan dibayar oleh PSSI — langkah bagus untuk
menjamin netralitas.
Sayangnya, banyak wasit mengeluh gaji
mereka tidak sebesar ketika masih digaji oleh tuan rumah. Gaji yang
berkurang itu pun sering terlambat dibayar (terjadi hingga kini). Hal
ini kemudian mendorong wasit menerima suap.
Pada 2000, manajer
PSIS Simon Legiman mengaku menyuap wasit Muchlis saat pertandingan Arema
Malang versus PSIS pada Liga Indonesia VI. Menurut Simon, inisiatif
kecurangan itu justru datang dari Muchlis.
“Dalam perjanjian,
Muchlis meminta Rp3 juta jika seri dan Rp5 juta apabila PSIS menang,”
ujar Simon, sebagaimana dilaporkan Suara Merdeka edisi 29 Mei 2000.
Simon bersedia menyuap Muchlis, mengingat posisi PSIS yang ada di jurang
degradasi. Ternyata saat pertandingan, Muchlis justru banyak merugikan
PSIS hingga akhirnya kalah 2-3 dari tuan rumah. Simon yang sudah memberi
uang muka Rp1 juta pun berang dan “bernyanyi” di hadapan wartawan.
Usut
punya usut, ternyata Muchlis melakukan itu untuk membalas dendam
lantaran pernah dijanjikan bonus Rp10 juta oleh PSIS. Tapi, setelah PSIS
juara Liga Indonesia V, uang yang dia terima hanya Rp750 ribu.
Simon kemudian dilarang berkiprah di sepak bola Indonesia seumur hidup dan Muchlis dikenai sanksi berat.
Sumarwoko,
seorang mantan wasit nasional, membenarkan adanya praktik suap ini.
Wasit dan perangkat pertandingan, kata dia, bisa dibawa ke tempat asing
untuk bernegosiasi. Wasit tidak selalu diminta memenangkan pihak
tertentu, bisa saja disuap “hanya” agar memimpin dengan adil.
Selama
bekerja sebagai wasit dan asisten wasit, Sumarwoko mengaku menghindari
pemberian uang sebelum pertandingan, karena itu berarti suap. Tetapi dia
menerima uang setelah pertandingan, karena itu bonus. “Saya anggap
sebagai rezeki karena sudah memimpin dengan adil."
Hingga kini persoalan seperti ini masih kerap muncul. Komite Wasit sendiri mengelak jika nilai gaji yang terlalu rendah menjadi penyebab. “Gaji wasit Rp5 juta per pertandingan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara,” ujar Roberto Rouw, ketua Komite Wasit PSSI.
Perilaku Aktor Lain Ikut Berperan
Bagaimanapun,
wasit bukan satu-satunya penyebab kericuhan dalam pertandingan. Semua
aktor sepak bola yang ada ikut berperan membuat situasi panas.
“Betul
wasit bisa mengeluarkan keputusan yang salah. Itu manusiawi. Kalau
protes yang wajar boleh atau nanti dievaluasi oleh Komite Wasit. Tetapi,
pemain yang tidak bisa mengontrol emosi dan protes berlebihan bisa
membuat ofisial tim dan suporter juga emosi sehingga berbuat kerusuhan.
Di Indonesia itu yang menang ya senang, yang kalah selalu cari masalah,”
ujar Sumarwoko.
Hal seperti itu bisa terjadi karena pemain
maupun ofisial tim tidak sepenuhnya mengerti aturan pertandingan.
Suporter pun demikian. Misalnya, aturan handball, dikatakan pelanggaran
jika tangan mengarah ke bola (aktif) — jika bola yang menyentuh tangan
(pasif) maka bukan pelanggaran.
PSSI dan Komite Wasit harus
serius menyelenggarakan pelatihan untuk regenerasi dan peningkatan
kualitas wasit. Wasit juga harus berkomitmen menaikkan mutu. Sedangkan
pemain, ofisial tim, dan suporter perlu lebih memahami peraturan
pertandingan sepak bola.
0 komentar:
Posting Komentar